Perkembangan Penulisan Sejarah Di Indonesia

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bangsa Indonesia telah lama memiliki kesadaran sejarah. Bukti kesadaran ini ditunjukkan oleh banyaknya karya naskah yang bersebaran di daerah-daerah Indonesia. Naskah-naskah tersebut merupakan bagian awal dari perkembangan penulisan sejarah di Indonesia.

Awal perkembangan penulisan sejarah di Indonesia dimulai dengan adanya penulisan sejarah dalam bentuk naskah. Beberapa sebutan untuk naskah-naskah yaitu babad, hikayat, kronik, tambo, dan lain-lain. Bentuk penulisan sejarah pada naskah-naskah tersebut, sebagaimana telah dikemukakan, termasuk dalam kategori historiografi tradisional. Sebutan historiografi tradisional, untuk membedakannya dengan historiografi modern. Historiografi modern sudah lebih dahulu berkembang di Barat. Ciri utama historiografi modern dan yang membedakan dengan historiografi tradisional adalah penggunaan fakta. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa historiografi tradisional tidak terlalu mementingkan kebenaran fakta, sedangkan historiografi modern sangat mementingkan fakta.

Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab I bahwa sejarah mengungkapkan tentang kenyataan. Kenyataan dalam sejarah adalah fakta. Jadi, apabila sejarah hanya sekedar cerita yang tidak memiliki fakta, berarti itu bukan suatu kenyataan, itu hanyalah sebuah fiksi belaka. Salah satu ciri bahwa fakta itu benar ialah sumber-sumber yang dijadikan rujukan cerita itu harus masuk akal.

Uraian historiografi tradisional yang bersifat fiksi, disebabkan oleh alam pikiran masyarakat yang belum bersifat rasional dan objektif. Uraian historiografi tradisional merupakan gambaran dari pikiran masyarakat yang magis-religius. Maksud dari uraian ini yaitu isi dari naskah-naskah lama sangat dipengaruhi oleh uraian unsur-unsur kepercayaan masyarakat setempat di mana naskah itu dibuat. Pada masyarakat yang masih tradisional, terdapat kepercayaan-kepercayaan yang memandang bahwa kehidupan manusia sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar manusia. Kekuatan-kekuatan itu dapat berupa alam, para dewa, benda-benda yang dianggap sakral, dan lain-lain. Manusia tidak mampu mengubah diri oleh dirinya sendiri.

Kedudukan manusia dalam suatu perubahan lebih berperan sebagai objek, bukan subjek atau penentu. Di beberapa daerah di Indonesia terdapat cerita yang bersumber dari historiografi tradisional tentang asal usul daerah tersebut. Di dalam sumber-sumbertersebut misalnya, diceritakan bahwa sebelum terbentuknya suatu tatanan kehidupan yang teratur dalam daerah tersebut, keadaannya krisis atau serba tidak menentu. Dalam keadaan yang demikian, maka sang dewa menurunkan utusannya untuk memperbaiki keadaan krisis. Utusan dewa itu kemudian menikah dengan wanita yang ada di daerah tersebut. Setelah turunnya utusan dewa maka keadaan di daerah itu menjadi baik dan mulailah tersusun suatu pemerintahan atau kerajaan. Hasil perkawinan antara utusan dewa dengan wanita yang dinikahinya ini kemudian menjadi pewaris atau silsilah penguasa kerajaan. Dalam masyarakat di Sulawesi Selatan, contoh cerita tersebut merupakan mitos Tomanurung.

Berdasarkan contoh cerita historiografi tersebut, terlihat bagaimana manusia tidak menjadi penentu dalam suatu cerita sejarah. Terbentuknya asal usul suatu daerah berdasarkan cerita historiografi tradisional, bukan ditentukan oleh manusia. Penentunya adalah dewa. Ketika dewa menurunkan utusannya ke muka bumi, maka terbentuklah suatu tatanan masyarakat.

Historiografi di Indonesia mengalami perkembangan. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, historiografi Indonesia diawali dengan perkembangan historiografi tradisional. Bentuk historiografi tradisional tersebut adalah naskah kuno sebagaimana yang telah dibahas. Setelah historiografi yang tradisional, kemudian berkembang penulisan sejarah modern.

Penulisan sejarah yang moderen diawali dengan penulisan sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Penulisan sejarah ini dilakukan oleh para ahli sejarah yang merupakan suatu team. Team penulis sejarah ini dipimpin oleh Dr. FW. Stapel. Buku yang ditulis oleh team ini berjudul Geschedenis van Nederlandsch Indie (Sejarah Hindia Belanda).

Pendekatan yang digunakan oleh Stapel dalam menulis buku tersebut sangat diwarnai para penulisnya. Buku tersebut pada dasarnya tidak banyak menceritakan tentang peran bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan, bangsa Indonesia pada saat itu sedang dijajah. Buku ini lebih tepat sebagai buku sejarah penjajahan orang Belanda di Indonesia. Penjajah Belanda merupakan subjek atau pemeran utama dalam cerita sejarah. Aspek-aspek yang positif lebih banyak ditekankan pada orang Belanda, sedangkan bangsa Indonesia hanyalah sebagai pelengkap penderita. Penulisan sejarah yang demikian disebut dengan pendekatan yang neerlandosentris, yaitu penulisan sejarah yang dilihat dari peran orang Belanda (penjajah). Tokoh-tokoh penting dari orang Belanda dianggap sebagai orang besar, sedangkan tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang oleh bangsa Indonesia dianggap sebagai pahlawan, dianggap sebagai orang yang jelek, orang jahat, dan berbagai citra negatif lainnya. Misalnya diceritakan bagaimana kompeni merasa kehilangan besar ketika J.P. Coen seorang Gubernur Jenderal meninggal. Dia dikuburkan dengan acara penguburan yang besar. Ketika akan dikuburkan, rakyat Betawi mengusungnya. Contoh sebaliknya adalah cerita tentang Sultan Banten. Diceritakan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang yang cerdik, bijaksana, dan taat menjalankan ajaran agamanya (Islam). Tetapi dibalik itu semua diceritakan pula dia memiliki kelakuan yang bengis, hatinya jelek, selamanya memusuhi kompeni dan ingin memajukan Banten dan membinasakan Betawi (Jakarta).

Buku oleh Stapel tersebut, bukanlah merupakan sejarah Indonesia, tetapi merupakan suatu penulisan sejarah penjajahan Belanda atau sejarah Belanda di negeri jajahan. Karena penulisan sejarah yang lebih menampilkan orang Belanda, maka orang Belanda (penjajah) menjadi subjek dalam cerita sejarah, sedangkan bangsa Indonesia sebagai objek dari cerita sejarah. Bangsa Indonesia dikenal dengan sebutan kaum pribumi. Sebutan ini lebih menunjukkan bahwa bangsa Indonesia bukan sebagai bangsa, tidak memiliki suatu negara. Kedudukan bangsa Indonesia sebagai pelayan orang Belanda.

Semangat kebangsaan memberikan warna terhadap penulisan sejarah Indonesia. Penulisan sejarah yang neerlandosentris dalam pandangan pada penulis sejarah Indonesia kuranglah berkenan di mata bangsa Indonesia. Timbul kritikan terhadap penulisan sejarah yang neerlandosentris. Hal yang perlu dilakukan sebagai bentuk nasionalisme dalam historiografi adalah penulisan sejarah yang dilihat dari kaca mata bangsa Indonesia. Dalam penulisan sejarah yang demikian, bangsa Indonesia harus ditempatkan sebagai tokoh sentral, pemeran utama. Bangsa Indonesia tidak ditampilkan sebagai figur yang negatif.

Model penulisan sejarah yang demikian dikenal dengan sebutan penulisan sejarah yang indonesiasentris. Penulisan sejarah model ini merupakan bentuk dari dekolonisasi terhadap historiografi, artinya pelepasan penjajahan dalam penulisan sejarah. Kesadaran tentang pentingnya penulisan sejarah yang indonesiasentris muncul sejak awal kemerdekaan. Hal ini diperlukan khususnya bagi pengajaran sejarah di sekolah. Sudah sewajarnyalah, pada awal kemerdekaan semangat nasionalisme masih begitu kental. Semangat nasionalisme tercermin pula dalam pengajaran sejarah. Untuk menanamkan semangat nasionalisme melalui pelajaran sejarah, sudah barang tentu diperlukan adanya penulisan Sejarah Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan ialah terbitnya buku-buku pelajaran sejarah dengan judul “Sejarah Indonesia”. Walaupun demikian, isi buku itu masih berbau neerlandosentris, sebab buku-buku tersebut masih merujuk pada buku Stapel.

Pada masa pendudukan Jepang, sebenarnya sudah ada istilah “Sejarah Indonesia”. Sebelum tahun 1942 pelajaran sejarah yang ada yaitu Sejarah Hindia Belanda (Gechiedenis van Nederlands-Indie) dan Sejarah Tanah Hindia (Indische Gechiedenis). Pendudukan Jepang bersikap anti Barat termasuk Belanda, sehingga buku yang diterbitkan oleh Belanda pun dilarang, termasuk penulisan sejarah penjajahan Belanda. Buku-buku sejarah yang diterbitkan mendapatkan pengawalan yang ketat dari pemeritahan pendudukan Jepang. Istilah “Sejarah Tanah Hindia” (Indische Geschiedenis) diubah menjadi “Sejarah Indonesia”.

Sebagaimana telah dikemukakan, sejak awal kemerdekaan muncul adanya keinginan untuk menulis kembali sejarah Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya kekecewaan terhadap buku-buku pelajaran yang ada di sekolah ketika itu. Pada umumnya buku-buku yang digunakan, masih merujuk kepada buku Stapel, walaupun diberi judul “Sejarah Indonesia”. Buku-buku pelajaran yang ada tidak memenuhi penulisan sejarah yang indonesiasentris.

Penulisan sejarah yang bersifat indonesiasentris harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

  1. Sejarah yang mengungkapkan “sejarah dari dalam”, yang menempatkan bangsa Indonesia sebagai pemeran utama.
  2. Penjelasan sejarah Indonesia diuraikan secara luas, dengan uraian yang mencakup aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
  3. Erat berhubungan dengan kedua pokok di atas, perlu ada pengungkapan aktivitas dari pelbagai golongan masyarakat, tidak hanya para bangsawan atau ksatria, tetapi juga dari kaum ulama atau petani serta golongangolongan lainnya.
  4. Untuk menyusun sejarah Indonesia sebagai suatu sintesis, yang menggambarkan proses perkembangan ke arah kesatuan geo-politik seperti yang kita hadapi dewasa ini, maka prinsip integrasi perlu dipergunakan untuk mengukur seberapa jauh integrasi itu dalam masa-masa tertentu telah tercapai.

Untuk memecahkan persoalan penulisan sejarah yang indonesiasentris, maka diadakanlah Seminar Sejarah Nasional I pada tanggal 14 sampai dengan 18 Desember 1957 di Yogyakarta. Seminar ini dilaksanakan melalui Keputusan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan tanggal 13 Maret 1957 No.28201/5. Topik yang dibicarakan dalam seminar tersebut meliputi:

  1. Konsep filosofis sejarah nasional;
  2. Periodisasi sejarah Indonesia;
  3. Syarat penulisan buku pelajaran sejarah nasional Indonesia;
  4. Pengajaran Sejarah Indonesia di sekolah-sekolah;
  5. Pendidikan Sejarawan;
  6. Pendidikan dan pengajaran bahan-bahan sejarah.

Pemerintah memiliki kepentingan dalam penyelenggaraan seminar tersebut. Bangsa Indonesia saat itu belum lama merdeka. Untuk membangun karakter kebangsaan pada diri masyarakat Indonesia adalah melalui pengajaran sejarah. Jadi, bagi pemerintah penulisan sejarah yang indonesiasentris merupakan suatu keharusan.

Pembicaraan yang berkembang pada seminar ini menurut Moh. Ali, forum Seminar Sejarah Nasional belum mengarah pada penulisan dan pengajaran sejarah Indonesia sebagai Sejarah Nasional. Hal ini dapat dimaklumi mengingat pada saat itu di Indonesia belum banyak ahli sejarah yang benar-benar berlatar belakang pendidikan sejarah atau sejarawan. Dalam forum tersebut, pembicaraan yang lebih menonjol yaitu pemikiran mengenai mungkin tidaknya penyusunan suatu filsafat Sejarah Nasional. Pembicaraan tentang filsafat sejarah nasional banyak dibicarakan oleh Moh. Yamin dan Sujatmoko.

Pentingnya penulisan sejarah yang indonesiasentris tidak selesai setelah seminar sejarah yang pertama di Yogya. Pembicaraan hal tersebut terus bergulir. Untuk mewujudkan penulisan sejarah yang indonesiasentris, pemerintah kemudian membuat suatu team yang bertugas melaksanakan penulisan kembali Sejarah Indonesia. Team ini dibentuk pada tahun 1963, akan tetapi team ini tidak dapat melaksanakan tugasnya dikarenakan terjadinya ketegangan sosial dan krisis politik negeri kita pada saat itu.

Semangat penulisan sejarah yang indonesiasentris muncul kembali dalam Seminar Sejarah Nasional Kedua di Yogyakarta pada tahun 1970. Seminar ini relatif lebih berkualitas dibandingkan dengan seminar yang pertama. Hal ini dikarenakan mulai adanya generasi baru sejarawan yang mempresentasikan kertas kerjanya. Pokok pembicaraan sudah mulai mengarah kepada periodisasi Sejarah Indonesia, yaitu mulai dari periode prasejarah sampai dengan periode yang paling modern.

Dalam seminar yang kedua ini juga muncul perkembangan pemikiran, yaitu perlunya penulisan buku sejarah untuk digunakan di sekolah. Keperluan ini sangat mendesak. Untuk melaksanakan aspirasi yang berkembang dalam seminar sejarah yang kedua itu, akhirnya pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan SK. No.0173/1970 mengangkat Panitia Penyusunan Buku Standard Sejarah Nasional Indonesia berdasarkan Pancasila yang dapat digunakan di Perguruan Tinggi dan sekaligus akan dijadikan bahan dari buku teks sejarah untuk sekolah dasar sampai dengan sekolah lanjutan tingkat atas. Panitia ini berhasil menyusun buku teks Sejarah Nasional sebanyak enam jilid.

Buku tersebut disusun dengan periodisasi sebagai berikut.

  1. Jilid I, zaman prasejarah di Indonesia.
  2. Jilid II, zaman kuno (awal masehi sampai 1600 M).
  3. Jilid III, zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia (1600 M-1800 M).
  4. Jilid IV, abad kesembilan belas (1800 M-1900 M).
  5. Jilid V, zaman kebangkitan nasional dan masa akhir Hindia Belanda (1800-1900 M)
  6. Jilid VI zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia (1942-sekarang).

Kegiatan seminar tidak berhenti sampai seminar sejarah yang kedua. Dalam beberapa waktu kemudian, diadakan kembali Seminar Sejarah Nasional. Seminar Sejarah Nasional yang ketiga di Jakarta pada tanggal 10 sampai dengan 15 November 1981, dan Seminar Sejarah Nasional yang keempat di Jogyakarta pada tanggal 16 sampai dengan 19 Desember 1985. Kongres Nasional Sejarah yang terakhir dilaksanakan di Jakarta dari tanggal 14-17 November 2006. Kongres sejarah atau seminar yang dilaksanakan itu pada dasarnya merupakan upaya untuk menemukan kembali penulisan-penulisan sejarah Indonesia, baik dari aspek sumber maupun metodologi.

Berdasarkan uraian di atas, kita bisa melihat bahwa bangsa Indonesia telah memiliki perkembangan dalam penulisan sejarah. Perkembangan penulisan itu mulai dari yang magis-religius sampai pada saintifis. Magis religius merupakan ciri perkembangan historiografi tradisional, sedangan saintifis perkembangan penulisan sejarah lebih bersifat kritis. Selain itu, perkembangan penulisan sejarah di Indonesia juga sangat ditentukan oleh alam pikiran bangsa Indonesia dalam memahami perubahan dirinya dan lingkungan di sekitarnya.

Related Posts