Sistem Penanggalan hasil Akulturasi Kebudayaan Islam

Pengaruh Hindu dan Budha masih mengakar di Indonesia dan ini terbukti dengan kebudayaan yang ada masih kental dengan corak kebudayaan Hindu-Buhda. Seperti halnya dalam sistem penanggalan, semula sebelum Islam masuk dan berkembang di Indonesia sistem penanggalan di Indonesia menggunakan Kalender Hindu atau yang disebut dengan Saka.

Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia.

Sistem Penanggalan hasil Akulturasi Kebudayaan Islam

Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal Kalender Saka (kalender Hindu) yang dimulai tahun 78M. Dalam kalender Saka ini ditemukan nama-nama pasaran hari seperti legi, pahing, pon, wage dan kliwon. Setelah berkembangnya Islam Sultan Agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa, dengan menggunakan perhitungan peredaran bulan (komariah) seperti tahun Hijriah (Islam).

Nama bulan yang digunakan adalah 12, sama dengan penanggalan Hijriyah (versi Islam). Demikian pula, nama-nama bulan mengacu pada bahasa bulan Arab yaitu Sura (Muharram), Sapar (Safar), Mulud (Rabi’ul Awal), Bakda Mulud (Rabi’ul Akhir), Jumadilawal (Jumadil Awal), Jumadilakir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawal), Sela (Dzulqaidah), dan Besar (Dzulhijjah). Namun, penanggalan hariannya tetap mengikuti penanggalan Saka karena penanggalan harian Saka saat itu paling banyak digunakan penduduk Kalender Sultan Agung tersebut dimulai tanggal 1 Syuro 1555 Jawa, atau tepatnya 1 Muharram 1053 H yang bertepatan tanggal 8 Agustus 1633 M.

Selain akulturasi budaya, Islam juga berpengaruh bagi Indonesia di bidang bahasa dan juga di bidang pendidikan.

Related Posts