Pengertian Folklor – fungsi beserta ciri-cirinya

Folklor mengacu pada seperangkat ekspresi budaya tradisional suatu bangsa, serta disiplin yang bertanggung jawab untuk mempelajari hal-hal ini. Kata tersebut, dengan demikian, adalah Anglicisme yang dibentuk dengan kata folk, yang berarti ‘rakyat’, dan lore, yang berarti ‘warisan’ atau ‘pengetahuan’. Dalam bahasa sederhana, ini diartikan sebagai cerita rakyat.

Apa itu Folklor?

Folklor adalah ekspresi budaya dalam semua manifestasinya: kerajinan dan obat-obatan populer, sejarah lisan, legenda, lelucon dan ucapan, musik dan tarian, kepercayaan dan takhayul, serta ritual dan adat tertentu., di antara banyak hal lainnya.

Dengan demikian, folklor merupakan bagian dari warisan kolektif suatu komunitas, yang telah berkembang secara spontan selama berabad-abad dan diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, cerita rakyat dianggap sebagai bagian mendasar dari identitas budaya suatu masyarakat atau bangsa.

Istilah folklor dikandung oleh ahli barang antik Inggris William John Thoms pada tahun 1846 untuk merujuk pada apa yang dikenal pada saat itu sebagai ‘barang antik populer’.

Untuk merayakan cerita rakyat dan ekspresi budaya masyarakat, Unesco (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa) menetapkan tanggal 22 Agustus setiap tahun sebagai Hari Folklor Sedunia.

Namun dewasa ini, ada kekhawatiran akan hilangnya folklor sebagai akibat dari fenomena globalisasi, yang mengancam akan mengurangi atau menghilangkan ciri khas budaya lokal demi budaya global.

Ciri-ciri Folklor

Menurut James Dananjaya ciri-cir folklor, yaitu:

  1. Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
  2. Penyebaran folklor dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni folklor disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
  3. Ada (exist) dalam versi-versi folklor bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara Folklor disebarkan dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi, folklore dengan mudah dapat mengalami perubahan. Walaupun demikian, perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
  4. Tradisional, yakni folklor disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).
  5. Anonim, yaitu pencipta folklor sudah tidak diketahui orang lagi.
  6. Folklor mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat, misalnya, selalu menggunakan kata-kata klise seperti “bulan empat belas hari” untuk menggambarkan kemarahan seseorang, atau ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan, dan kalimat-kalimat atau kata-kata pembukaan dan penutup yang baku, seperti “sohibul hikayat… dan mereka pun hidup bahagia untuk seterusnya,” atau “Menurut empunya cerita… demikianlah konon”.
  7. Pralogis, yaitu folklor mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklore lisan dan sebagian lisan.
  8. Milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
  9. Bersifat polos dan lugu, sehingga folklor seringkali kelihatan kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.

Fungsi

Adapun fungsi folklor, untuk:

  1. Sebagai sistem proyeksi, yakni folklor sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif.
  2. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.
  3. Folklor untuk alat pendidik anak.
  4. Folklor adalah alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Sebagaimana telah dikemukakan, manusia praaksara telah memiliki kesadaran sejarah. Salah satu cara kita untuk melacak bagaimana kesadaran sejarah yang mereka miliki ialah dengan melihat bentuk folklore. Bentuk folklore yang berkaitan dengan kesadaran sejarah adalah cerita prosa rakyat. Termasuk prosa rakyat antara lain mite atau mitologi dan legenda.

Jenis-jenis Folklor

Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor Amerika Serikat, membagi folklor ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.

Folklor Lisan

Folklor jenis ini dikenal juga sebagai fakta mental (mentifact) yang meliputi sebagai berikut:

  1. bahasa rakyat seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu, otomatis;
  2. ungkapan tradisional seperti peribahasa dan sindiran;
  3. pertanyaan tradisonal yang dikenal sebagai teka-teki;
  4. sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan syair;
  5. cerita prosa rakyat, cerita prosa rakyat dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale), seperti Malin Kundang dari Sumatra Barat, Sangkuriang dari Jawa Barat, Roro Jonggrang dari Jawa Tengah, dan Jaya Prana serta Layonsari dari Bali;
  6. nyanyian rakyat, seperti “Jali-Jali” dari Betawi.

Folklor sebagian Lisan

Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact), meliputi sebagai berikut:

  • kepercayaan dan takhayul;
  • permainan dan hiburan rakyat setempat;
  • teater rakyat, seperti lenong, ketoprak, dan ludruk;
  • tari rakyat, seperti tayuban, doger, jaran, kepang, dan ngibing, ronggeng;
  • adat kebiasaan, seperti pesta selamatan, dan khitanan;
  • upacara tradisional seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten;
  • pesta rakyat tradisional seperti bersih desa dan meruwat.

Folklor Bukan Lisan

Folklor ini juga dikenal sebagai artefak meliputi sebagai berikut:

  • arsitektur bangunan rumah yang tradisional, seperti Joglo di Jawa, Rumah Gadang di Minangkabau, Rumah Betang di Kalimantan, dan Honay di Papua;
  • seni kerajinan tangan tradisional,
  • pakaian tradisional;
  • obat-obatan rakyat;
  • alat-alat musik tradisional;
  • peralatan dan senjata yang khas tradisional;
  • makanan dan minuman khas daerah.

Related Posts