Tradisi Sejarah Pada Masa Aksara

Tradisi sejarah masyarakat Indonesia berkembang pula pada masa aksara, yaitu masa ketika masyarakat Indonesia sudah mengenal tulisan. Pada masa aksara, tradisi sejarah direkam melalui tulisan sehingga lahirlah rekaman tertulis. Rekaman tertulis ini pun, sama halnya dengan tradisi masa praaksara, yaitu tumbuh dan berkembang melalui pewarisan dalam masyarakat.

Pada masyarakat yang sudah mengenal tulisan, pewarisan masa lalunya dilakukan melalui rekaman tulisan. Rekaman tertulis ini merupakan bentuk kesadaran sejarah. Mereka memandang bahwa masa lalu perlu diingat, dicatat dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Rekaman tertulis tersebut disebut dengan naskah.

Naskah-naskah di Indonesia banyak bertebaran di berbagai daerah. Bahasa yang digunakan pada umumnya bahasa daerah asal naskah itu ditulis, seperti bahasa Sunda, Jawa, Bugis, Melayu, Aceh, Minang, dan sebagainya. Banyaknya naskah yang bertebaran di berbagai wilayah Indonesia menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki kesadaran sejarah yang sangat tinggi. Sebutan untuk naskah-naskah tersebut antara lain babad, tambo, hikayat, dan kronik.

Kalangan masyarakat profesional menyebut naskah tersebut dengan sebutan naskah lama atau naskah kuno. Penyebutan ini disebabkan naskah tersebut ditulis pada masa lampau. Bagaimana mengukur naskah tersebut lama tidaknya, yaitu berdasarkan Monumen STBL no. 238 tahun 1931. Menurut aturan tersebut, naskah dikatakan lama apabila sudah berumur 50 tahun. Jadi, naskah kuno adalah karangan yang berupa tulisan atau ketikan yang telah berusia lebih dari 50 tahun.

Bahan yang digunakan untuk menulis naskah sangat beragam. Ada yang ditulis pada kertas, bambu, kulit kayu, rotan, daun nipah, daun lontar, dan lain-lain. Jenis kertas yang digunakannya pun sangat beragam. Kertas yang digunakan ialah jenis kertas yang ada pada saat naskah itu ditulis. Naskah yang ditulis pada daun lontar terdapat di Sulawesi Selatan, sehingga naskah itu disebut dengan sebutan lontarak.

Naskah kuno merupakan sumber informasi kebudayaan daerah pada masa lampau. Naskah ini sangat penting dan memiliki makna yang sangat berarti. Di dalamnya mengandung ide-ide, gagasan, dan berbagai macam pengetahuan tentang alam semesta menurut persepsi budaya masyarakat yang bersangkutan. Naskah ini juga mengandung, antara lain ajaran-ajaran moral, filsafat, dan keagamaan. Isi naskah pada dasarnya merupakan buah pikiran dari si penulisnya. Buah pikiran dari si penulis tergantung pada apa yang menjadi ketertarikan si penulis naskah tersebut. Ketertarikan buah pikiran sangat beragam, dengan demikian isi naskah pun sangat beragam. Tidak semua naskah berisi tentang sejarah. Hal-hal yang menjadi materi naskah dapat berupa ajaran agama, hukum, adat istiadat, filsafat, politik, sastra, astronomi, ajaran moral, mantera, doa, obat-obatan, mistik, bahasa, bangunan, dan tumbuh-tumbuhan. Walaupun tidak berisi cerita sejarah, naskah-naskah kuno sangat berguna bagi penelitian sejarah. Hal yang bisa dikaji dari jenis naskah-naskah tersebut ialah nilai-nilai atau kebudayaan tempat naskah itu dibuat. Misalnya, ketika kita akan menulis tentang bagaimana pelaksanaan undang-undang dalam suatu wilayah, maka naskah tentang undang-undang itulah yang kita pakai. Hal ini penting kita lakukan, karena mungkin saja pelaksanaan undang-undang pada masa lalu berbeda dengan masa sekarang.

Dalam ilmu sejarah, naskah dapat dimasukkan ke dalam bentuk historiografi tradisional. Sebutan tradisional tersebut berdasar pada tahun ketika naskah itu ditulis, tempat penulisan naskah, dan bentuk cerita yang dikisahkan dalam naskah. Tahun penulisan naskah biasanya ditulis pada waktu yang sudah lama. Tempat naskah itu ditulis sangat mempengaruhi isi naskah. Kebudayaan masyarakat setempat akan mewarnai isi cerita naskah. Bentuk cerita yang disampaikan biasanya memuat bagian-bagian yang sepertinya tidak masuk akal. Ada cerita-cerita yang bersifat mitos. Cerita sejarah yang ada dalam naskah, biasanya lebih banyak menceritakan peran “orang-orang besar”, seperti raja, penguasa, tokoh, dan lain-lain.

Pemunculan peran penguasa dalam naskah dikarenakan subjektivitas penulisnya. Pada masa lalu biasanya di kerajaan terdapat seorang pujangga. Pujangga ini mencatat peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di kerajaan tersebut. Peristiwa-peristiwa penting itu misalnya kapan raja itu memerintah, siapa rajanya, kapan raja berakhir berkuasa, siapa yang menggantikan raja yang lama, peristiwa apa yang terjadi pada saat pergantian raja, dan peristiwaperistiwa lainnya.

Tidak semuanya naskah yang berisi tentang sejarah ditulis oleh pujangga kerajaan. Ada juga naskah yang ditulis oleh orang biasa. Bahkan naskahnaskah tersebut mengalami proses penyalinan kembali. Pada zaman Belanda, terdapat orang-orang yang kembali menyalin naskah. Penyalinan itu dilakukan karena para ilmuwan Belanda yang tertarik pada pengumpulan naskah meminta menyalin kembali.

Pandangan dari penulis naskah akan berpengaruh terhadap hasil penulisannya. Bagi pembuat naskah yang sekaligus berprofesi sebagai pengarang atau pujangga, pekerjaan menulis naskah merupakan suatu pemenuhan batin untuk menyatakan pikiran-pikirannya, untuk mempraktikkan kiat-kiat estetikanya, untuk menyatakan sikap hidup dan tanggapan dunianya. Berbeda halnya dengan para pembuat naskah yang semata-mata melakukan penyalinan, baik atas perintah, keinginan sendiri, maupun atas pesanan. Pada waktu itu, para pembuat naskah yang ada pada umumnya adalah golongan penyalin.

Para pengarang pada umumnya telah menggunakan media penulisan modern untuk langsung diproduksi secara massal. Fakta yang ada dalam naskah-naskah lama tidak selamanya dapat digunakan sebagai fakta sejarah. Apabila kita menggunakan fakta-fakta tersebut, maka kita harus bersikap kritis, karena uraian atau cerita dari naskah lama biasanya banyak dibumbui oleh cerita yang bersifat mistik atau magis religius. Misalnya, seorang raja yang memiliki kesaktian luar biasa yang berbeda dengan manusia lain pada umumnya.

Bentuk historiografi tradisional yang terdapat pada naskah memiliki beberapa ciri.

Pertama, uraiannya dipengaruhi oleh ciri-ciri budaya masyarakat pendukungnya. Sebagaimana telah dikemukakan, naskah merupakan produk kebudayaan masyarakat setempat. Unsur-unsur kebudayaan masyarakat setempat akan mewarnai isi naskah. Misalnya naskah yang ada di Sulawesi Selatan banyak yang berbahasa Bugis dan Makassar, karena merupakan suku yang ada di daerah tersebut.

Ciri kedua, dari yaitu cenderung mengabaikan unsur-unsur fakta. Pengabaian fakta ini disebabkan terlalu dipengaruhi atau dikaburkan oleh sistem kepercayaan yang dimiliki masyarakatnya. Fakta yang menjadi tokoh dalam cerita naskah, sering dibumbui dengan unsur-unsur mistik yang menjadi kepercayaan masyarakat setempat. Aspek yang menonjol dalam cerita tersebut bukan tokoh yang menjadi fakta, tetapi unsur mistiknya. Contoh yang demikian misalnya naskah yang menceritakan para wali yang menyebarkan agama Islam. Tokoh-tokoh tersebut digambarkan sebagai figur yang memiliki kekuatan-kekuatan di luar kekuatan manusia biasa. Salah satu kekuatan yang dapat ditampilkan misalnya seorang wali pergi ke Mekah dengan jalan melalui dasar laut. Penokohan yang berlebihan ini barangkali untuk memberikan keyakinan bagi masyarakat agar masyarakat sangat menghormati pada wali.

Ciri ketiga, yaitu dalam naskah terdapat tokoh yang memiliki kekuatan “sekti” (sakti). Kekuatan ini merupakan pangkal dari berbagai peristiwa alam, termasuk yang menyangkut kehidupan manusia. Kekuatan sakti ini diperoleh melalui suatu proses perjalanan yang cukup panjang. Ketika kekuatan sakti sudah diperoleh oleh seorang tokoh, maka tokoh itu dihadapkan pada pantangan-pantangan. Apabila pantangan itu dilanggar, maka akan menimbulkan malapetaka atau kecelakaan bagi si tokoh tersebut. Dengan demikian, kesaktian tersebut dapat bertahan atau hilang lenyap seketika.

Dalam beberapa naskah di Jawa, diceritakan bahwa raja Mataram Sultan Agung memiliki kesaktian. Dalam memperluas kekuasaannya, Sultan Agung mampu terbang mengunjungi daerah taklukannya.

Penggambaran tokoh seperti ini untuk meyakinkan rakyat terhadap kekuasaan seorang raja. Dengan cara ini, rakyat akan semakin tunduk dan taat kepada raja. Rakyat akan takut menerima hukuman dari raja, karena raja memiliki kesaktian.

Ciri keempat, yaitu adanya kepercayaan akan klasifikasi magis yang mempengaruhi segala sesuatu yang ada di alam ini. Sifat magis itu terdapat, baik pada makhluk hidup maupun pada benda-benda mati. Selain itu, magis dapat dibentuk dalam akal manusia maupun bagi sifat-sifat yang terdapat dalam materi. Secara akal sehat, sifat magis ini sulit diterima oleh akal sehat, misalnya binatang dapat berwujud menjadi manusia atau jasad manusia dapat berubah menjadi tumbuh-tumbuhan. Perubahan wujud ini dapat ditemukan dalam Naskah Babad Ratu Galuh. Naskah tersebut menceritakan tentang Ratu Galuh. Dia anak Hariangbanga. Hobi yang dimiliki oleh raja adalah berburu ke hutan. Sang raja berburu ke hutan dengan membawa seekor anjing yang bernama Belang Wayungyung. Dalam cerita berburunya raja ini, terdapat cerita yang menarik. Sang raja buang air kecil dan air seninya tergenang pada pelepah kelapa, ketika menjelang pulang dari perburuannya. Selesai raja buang air seni, datanglah seekor babi yang meminum air seni raja. Akibat minum air seni sang babi tersebut menjadi hamil. Ketika usia kehamilan sudah cukup waktu, maka lahirlah seorang bayi. Bayi tersebut diambil oleh raja dan diberi nama Sepirasa. Setelah ditinggal mati ibunya, Sepirasa oleh Raja Galuh ditempatkan di sebuah gubuk di hutan dan diganti namanya menjadi

Dewi Hartati. Dewi Hartati kemudian hamil karena disetubuhi oleh Si Belang titisan dewa, dan lahirlah seorang putra bernama Suwungrasa yang mirip dengan Hariangbanga putra Raja Galuh. Hobi yang dimiliki Suwungrasa adalah berburu. Jika berburu Suwungrasa ditemani oleh Si Belang. Pada suatu ketika Suwungrasa berburu dengan si Belang. Perburuan yang dilakukannya ini tidak mendapatkan hasil. Suwungrasa merasa kecewa karena tidak mendapatkan hasil buruannya. Kekecewaan Suwungrasa kemudian menjadi kekesalan. Ungkapan kekesalan tersebut dilakukan dengan cara membu.nuh si Belang dan diambil atinya. Ketika sampai di rumah, ati si Belang tersebut kemudian dipasak dan dimakan bersama ibunya. Setelah selesai makan, Suwungrasa baru memberitahu ibunya bahwa ati yang dimakan itu adalah ati si Belang. Mendengar cerita tersebut, ibunya kemudian marah dan memukul bagian kepala Suwungrasa dengan menggunakan sinduk sehingga ada bekasnya di kepala Suwungrasa. Marahnya ibu Suwungrasa menyebabkan mereka berdua harus berpisah. Selama perpisahan kedua-duanya melakukan aktivitas-aktivitasnya. Kegiatan Dewi Hartati yaitu sering bertapa. Kerajinan bertapa membuat Dewi Hartati menjadi orang sakti dan berganti nama menjadi Malaya. Adapun Suwungrasa berguru kepada Ajar Padang dan berganti namanya menjadi Jaka Wardaya. Perpisahan di antara anak dan ibu tersebut mengisahkan cerita lain dan membuat mereka tidak saling kenal pada mulanya. Pada suatu ketika Jaka Wardaya ingin memperistri Dewi Malaya. Jaka Wardaya tidak mengetahui bahwa perempuan yang dicintainya itu adalah ibunya sendiri. Salah satu cara untuk mempersunting Dewi Malaya yaitu dengan bertanding melawan ibunya sendiri. Ajar Padang mengingatkan Jaka Wardaya bahwa Dewi Malaya bukan tandingannya, tetapi Jaka Wardaya tetap pada pendiriannya. Ketika bertanding, Dewi Malaya melihat bekas luka goresan di kepala Jaka Wardaya, dan dia meyakini bahwa Jaka Wardaya adalah anaknya yang dulu berpisah. Ajar Padang akirnya dapat melerai. Jaka Wardaya kemudian berganti nama menjadi Bangkasari dan menikah dengan putri di atas angin, sedangkan Dewi Malaya menjadi raja.

Hal yang dapat dilihat dari uraian Babad Ratu Galuh itu ialah kita menemukan adanya binatang yang melahirkan anak manusia. Hal ini merupakan suatu perubahan benda dari binatang bisa menjadi manusia. Sepirasa dilahirkan dari seekor babi hutan dan Suwungrasa dilahirkan dari hasil persetubuhan anjing (Si Belang) dengan manusia (Dewi Hartati).

Perubahan dari manusia atau dewa menjadi tumbuh-tumbuhan dapat dibaca dalam naskah-naskah yang menceritakan tentang Dewi Sri atau Dewi Pohaci. Di antara naskah yang menceritakan Dewi Pohaci adalah naskah Sulanjana. Naskah ini bercerita tentang terjadinya tumbuh-tumbuhan, khususnya tumbuhan padi, di negeri Pakuan. Tumbuh-tumbuhan itu tumbuh berasal dari jasad Dewi Pohaci yang meninggal.

Ciri kelima, yaitu kepercayaan perbuatan magis atau sihir yang dilakukan tokoh-tokoh tertentu. Contoh tokoh yang memiliki kekuatan magis adalah Mpu Bharada. Atas permintaan Airlangga, beliau terbang dengan menggunakan daun kluih. Ketika terbang, Mpu Bharada membawa kendi yang berisi air. Kemudian air yang ada dalam kendi itu kemudian dipercikkan ke tanah. Percikkan air itulah yang menjadi batas pembagian kerajaan yang dimiliki Airlangga. Hal ini dilakukan ketika Airlangga hendak membagi wilayah kerajaannya kepada anaknya.

Ciri keenam, ialah gambaran dari tokoh-tokoh yang ditonjolkan dalam cerita naskah tersebut merupakan tokoh yang mistis (raja dianggap titisan dewa). Penokohan raja sebagai titisan dewa tersebut hampir pada semua naskah yang menceritakan tentang hal itu. Pada naskah-naskah lontarak di Sulawesi Selatan, ada sebutan To Manurung, yang menceritakan tentang raja yang berkuasa itu hasil perkawinan antara manusia dengan dewa. Di Jawa Barat, silsilah para Bupati selalu dihubungkan dengan tokoh mitos yaitu Prabu Siliwangi. Silsilah tersebut dibuat dengan tujuan agar dapat memberikan dasar legitimasi bagi raja atau penguasa bahwa dia adalah keturunan tokoh yang sakral atau berpengaruh.

Related Posts