Kerajaan Kediri: Sejarah, peniggalan, raja, keruntuhan

Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan terindianisasi yang berbasis di Jawa Timur dari tahun 1042 sampai sekitar tahun 1222. Kediri berdiri pada tahun 1045 ketika Airlangga (991 – 1049), yang membangun kerajaannya, Kahuripan, dari reruntuhan Medan setelah dihancurkan oleh Sriwijaya, terbelah itu menjadi dua kerajaan — Janggala (berdasarkan pada masa Malang kontemporer) dan Kediri — dan turun tahta demi kedua putranya untuk menjalani kehidupan seorang pertapa.

Dua buku Cina Ling-wai-tai-ta, (1178) yang ditulis oleh Chou K’u-fei, dan Chu-fan-chi, yang ditulis sekitar 1200 oleh Chou-Ju-Kua, memberikan catatan yang tak ternilai tentang kehidupan sehari-hari, pemerintahan, ekonomi dan rakyat kerajaan Kediri. Orang-orang menganut dua jenis agama: Budha dan agama Brahmana (Hindu). Awalnya mereka mengandalkan terutama pada budidaya padi dan peternakan (sapi, babi hutan, dan unggas), tetapi kemudian mendominasi perdagangan rempah-rempah, mengumpulkan rempah-rempah dari negara bagian mereka di Kepulauan Rempah dan menjualnya ke pedagang dari India dan Asia Tenggara. Perekonomian Kediri sebagian dimonetisasi, dan mata uang koin perak dikeluarkan oleh istana kerajaan.

Meskipun tampak kekurangan peninggalan arkeologis, zaman Kediri adalah salah satu yang melihat banyak perkembangan di bidang sastra klasik. [1] Beberapa sastra klasik terkenal seperti Kakawin Bharatayuddha karya Mpu Sedah, Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, dan Smaradahana karya Mpu Dharmaja diproduksi selama era ini, menjadikan era kerajaan Kediri sebagai periode kebangkitan sastra dan pemurnian budaya yang tinggi.

Gambaran

Pada tahun 1045 Airlangga (991 – 1049) yang telah membangun kerajaannya, Kahuripan, dari reruntuhan Medan setelah dihancurkan oleh Sriwijaya, membaginya menjadi dua kerajaan, Janggala (berdasarkan Malang kontemporer) dan Kediri, dan turun tahta demi putra-putranya untuk menjalani kehidupan seorang pertapa. Dia meninggal empat tahun kemudian. Selama lima puluh tahun setelah turunnya Airlangga, nasib kedua kerajaan tersebut tidak diketahui. Belakangan, hanya Kediri yang meninggalkan catatan sejarah, sedangkan Janggala sepertinya sudah tidak ada atau mungkin sudah diserap oleh Kediri.

Pemerintahan Raja Kediri

Raja pertama Kediri yang meninggalkan catatan sejarah adalah Çri Jayawarşa Digjaya Çāstaprabhu (memerintah 1104-1115). Dalam sebuah prasasti bertanggal 1104, seperti halnya Airlangga, ia menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Wisnu.

Ia digantikan oleh Kameçwara (memerintah 1115-1130). Nama bergaya resminya adalah Çri Maharaja Rake Sirikan çri Kameçwara Sakalabhuwanatustikarana Sarwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa. Lancana (segel kerajaan) pada masa pemerintahannya adalah tengkorak dengan bulan sabit yang disebut chandrakapala, simbol Siwa.

Selama masa pemerintahannya Mpu Dharmaja menulis buku Smaradahana, di mana raja dipuja sebagai titisan Kamajaya, dewa cinta, dan ibu kotanya, Dahana (kemudian disebut Daha), adalah kota terindah, dikagumi di seluruh dunia. Dalam buku ini, istri Kameçwara, ratu Çri Kirana, putri Janggala, dirayakan sebagai wanita yang luar biasa cantik, titisan Kamaratih, dewi cinta dan gairah. Kameçwara dan Kirana kemudian dikenal dalam kesusastraan Jawa sebagai tokoh utama dalam dongeng Panji, yang menyebar ke seluruh Asia Tenggara hingga Siam.

Penerus Kameçwara adalah Jayabhaya (memerintah 1130-1160). Nama gaya resminya adalah Çri Maharaja çri Dharmmeçwara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parakrama Digjayottunggadewa, dan Lancana (meterai kerajaan) pemerintahannya adalah Narasingha.

Nama Jayabhaya diabadikan dalam Kakawin Bharatayuddha Mpu Sedah, Mahabharata versi Jawa yang ditulis pada tahun 1157 dan kemudian disempurnakan oleh saudara laki-laki Sedah, mpu Panuluh. Mpu Panuluh juga penulis Hariwangsa dan Gatotkacasraya.

Masa pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa keemasan sastra Jawa Kuno. Prelambang Joyoboyo, sebuah kitab kenabian yang dianggap berasal dari Jayabhaya, terkenal di kalangan orang Jawa karena ramalannya tentang peristiwa tertentu yang terjadi kemudian dalam sejarah Jawa. Kitab tersebut menubuatkan bahwa Nusantara akan diperintah oleh ras kulit putih untuk waktu yang lama, kemudian oleh ras kuning untuk waktu yang singkat, dan kemudian berjaya kembali. Nubuat Jayabhaya juga menyebutkan Ratu Adil, Pangeran Adil, tokoh populer yang berulang dalam cerita rakyat Jawa. Pada masa pemerintahan Jayabhaya, Ternate adalah negara bawahan Kediri.

Jayabhaya digantikan oleh Sarwweçwara (memerintah 1160-1170), diikuti oleh Aryyeçwara (memerintah 1170-1180), yang menggunakan Ganesa sebagai Lancana kerajaannya. Raja berikutnya adalah Raja Gandra; nama formal bergaya adalah Çri maharaja çri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayottunggadewanama çri Gandra. Sebuah prasasti dari masa pemerintahannya (bertanggal 1181) menjadi saksi dimulainya pengadopsian nama-nama hewan sebagai nama pejabat penting, seperti Kbo Salawah, Menjangan Puguh, Lembu Agra, Gajah Kuning, dan Macan Putih. Di antara pejabat tinggi yang disebutkan dalam prasasti ini, ada gelar “Senapati Sarwwajala”, atau laksmana, gelar yang diperuntukkan bagi seorang jenderal angkatan laut, yang menunjukkan bahwa Kediri memiliki armada angkatan laut.

Dari tahun 1190 hingga 1200, Raja Çrngga memerintah Kediri, dengan nama resmi Çri maharaja çri Sarwweçwara Triwikramawataranindita Çrngga lancana Digwijayottunggadewa. Dia menggunakan cangkha (cangkang bersayap) di bulan sabit sebagai segel kerajaannya.

Raja terakhir Kediri adalah Kertajaya (memerintah 1200-1222). Dia menggunakan segel kerajaan yang sama dengan Airlangga, Garudamukha. Pada tahun 1222, sebagai akibat kekalahannya dalam pertempuran Ganter, ia terpaksa menyerahkan tahtanya kepada Ken Arok dan kehilangan kedaulatan kerajaannya kepada kerajaan baru Singhasari. Peristiwa ini menandai berakhirnya era Kediri, dan dimulainya era Singhasari.

Budaya

Pada masa pemerintahan Kediri, yang diperingati sebagai era berkembangnya kesusastraan dan budaya, sumbangan yang signifikan telah diberikan di bidang sastra klasik Jawa. Selain karya sastra yang telah disebutkan sebelumnya, ada karya penting lainnya, seperti Lubdhaka dan Wrtasancaya karya Mpu Tanakung, Krisnayana karya Mpu Triguna, dan Sumanasantaka karya Mpu Monaguna.

Ling-wai-tai-ta, yang ditulis oleh Chou K’u-fei pada tahun 1178, memberikan gambaran sekilas tentang kehidupan sehari-hari Kediri, pemerintahannya, dan masyarakatnya, yang tidak dapat ditemukan di sumber lain mana pun. Menurut Chou K’u-fei, orang-orang Kediri mengenakan pakaian yang menutupi hingga kaki mereka, dan gaya rambut mereka dibungkus dengan longgar.

Rumah mereka bersih dan tertata rapi, dengan lantai yang terbuat dari batu potong berwarna hijau atau kuning. Pertanian, peternakan, dan perdagangan tumbuh subur dan mendapat perhatian penuh dari pemerintah. Ia melaporkan bahwa budidaya ulat sutera dan produksi sutra dan pakaian katun telah diadopsi oleh orang Jawa. Tidak ada hukuman fisik (penjara atau penyiksaan) bagi penjahat.

Orang yang melakukan perbuatan melawan hukum dipaksa membayar denda dengan emas, kecuali pencuri dan perampok yang langsung dihukum mati. Berdasarkan adat istiadat perkawinan mereka, keluarga mempelai wanita menerima sejumlah emas sebagai hadiah pengantin dari keluarga mempelai pria. Mata uang Kediri adalah koin perak asli. Alih-alih mencari perawatan medis, orang yang sakit berdoa kepada dewa atau Buddha untuk kesehatan.

Pada bulan kelima tahun ini, orang-orang melakukan perjalanan dengan perahu di sungai untuk merayakan Festival Air. Pada bulan kesepuluh, festival tahunan diadakan di pegunungan, di mana orang berkumpul untuk bersenang-senang dan menampilkan musik festival dengan instrumen seperti seruling, drum, dan gambang kayu (bentuk gamelan kuno).

Menurut catatan yang sama, Raja mengenakan pakaian sutra, sepatu kulit, dan perhiasan emas berhias. Rambut raja diatur di atas kepalanya. Setiap hari, dia menerima pejabat negara yang mengelola kerajaannya. Bentuk tahta raja itu persegi. Setelah audiensi mereka, pejabat negara akan membungkuk tiga kali kepada raja. Jika raja bepergian ke luar istana, dia menunggang gajah ditemani 500 hingga 700 tentara dan pejabat, sementara rakyatnya, orang-orang Kediri, bersujud di sepanjang sisi jalan sampai raja lewat.

Ekonomi

Pada awalnya perekonomian Kediri bertumpu pada pertanian, khususnya budidaya padi. Daha, ibu kota Kediri (diperkirakan berada di lokasi yang sama dengan Kediri modern) terletak di pedalaman, dekat lembah sungai Brantas yang subur. Dari kerajaan pendahulu, Kahuripan Airlangga, Kediri mewarisi sistem irigasi, termasuk Bendungan Wringin Sapta. Menurut seorang sumber Tionghoa, pekerjaan utama orang Kediri adalah bertani (bercocok tanam padi), beternak (sapi, babi hutan, dan unggas), dan berdagang. Perekonomian Kediri sebagian dimonetisasi, dan mata uang koin perak dikeluarkan oleh istana kerajaan.

Belakangan, perekonomian Kediri juga mengandalkan perdagangan, terutama perdagangan rempah-rempah. Kediri memiliki armada angkatan laut, yang memungkinkan mereka mengontrol jalur perdagangan rempah-rempah ke pulau-pulau timur. Kediri mengumpulkan rempah-rempah dari anak sungai di Kalimantan bagian selatan dan Kepulauan Maluku, yang di Barat dikenal sebagai Kepulauan Rempah-rempah atau Maluku. Pedagang India dan Asia Tenggara, antara lain, kemudian mengangkut rempah-rempah tersebut ke pasar Mediterania dan Tiongkok melalui Jalur Rempah yang menghubungkan rantai pelabuhan dari Samudra Hindia ke Tiongkok selatan.

Related Posts