Demokrasi Pada Masa Orde Lama 1950-1959

Pada masa orde lama ada dua pelaksanaan demokrasi yakni masa demokrasi liberal dan masa demokrasi terpimpin.

1.     Masa demokrasi liberal

Demokrasi yang dipakai adalah demokrasi parlementer atau demokrasi liberal. Demokrasi pada masa itu telah dinilai gagal dalam menjamin stabilitas politik. Ketegangan politik demokrasi liberal atau parlementer disebabkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Dominanya politik aliran maksudnya partai politik yang sangat mementingkan kelompok atau alirannya sendiri dari pada mengutamakan kepentingan bangsa
  2. Landasan sosial ekonomi rakyat yang masih rendah
  3. Tidka mampunya para anggota konstituante bersidang dalam mennetukan dasar negara.

Presiden sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi 3 keputusan yaitu:
1)     Menetapkan pembubaran konstituante
2)     Menetapkan UUD 1945 berlaku kembali sebagai konstitusi negara dan tidak berlakunya UUDS 1950
3)     Pembentukan MPRS dan DPRS

Dengan turunnya dekrit presiden berakhirlan masa demokrasi parlementer atau demokrasi liberal.

2.     Masa demokrasi terpimpin

Menurut Ketepan MPRS no. XVIII/MPRS /1965 demokrasi trepimpin adalah kerakyatan yang dipimpn oleh hikmat kebijaksamaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi terpimpin merupakan kebalikan dari demokrasi liberal dalam kenyataanya demokrasi yang dijalankan Presiden Soekarno menyimpang dari prinsip-prinsip negara demokrasi.
Penyimpanyan tersebut antara lain:

  1. Kaburnya sistem kepartaian dan lemahnya peranan partai politik
  2. Peranan parlemen yang lemah
  3. Jaminan hak-hak dasar warga negara masih lemah
  4. Terjadinya sentralisasi kekuasaan pada hubungan antara pusat dan daerah
  5. Terbatasnya kebebasan pers sehingga banyak media masa yang tidak dijinkan terbit.

Akhirnya dari demokrasi terpimpin memuncak dengan adanya pemberontakan G 30 S / PKI pada tanggal 30 September 1965. Demokrasi terpimpin berakhir karena kegagalan presiden Soekarno dalam mempertahankan keseimbangan antara kekuatan yang ada yaitu PKI dan militer yang sama-sama berpengaruh. PKI ingin membentuk angkatan kelima sedangkan militer tidak menyetujuinya. Akhir dari demokrasi terpimpin ditandai dengan dikeluarkannya surat perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto untuk mengatasi keadaan.

Pada era orde lama (1955-1961), situasi negara Indonesia diwarnai oleh berbagai macam kemelut ditngkat elit pemerintahan sendiri. Situasi kacau (chaos) dan persaingan diantara elit politik dan militer akhirnya memuncak pada peristiwa pembenuhan 6 jenderal pada 1 Oktober 1965 yang kemudian diikuti dengan dengan krisi politik dan kekacauan sosial. Pada massa ini persoalan hak asasi manusia tidak memperoleh perhatian berarti, bahkan cenderung semakin jauh dari harapan.

Unsur-unsur Penegakan Dremokrasi

  1. Negara hukum
  2. Masyarakat madani
  3. Infrastruktur politik (parpol, kelompok gerakan, kelompok kepentingan, kelompok penekan)
  4. Pers yang bebas dan bertanggung jawab

Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer

  1. Kekuasaan legislatif lebih kuat dari pada kekuatan ekspekutif
  2. Meteri-menteri (kabinet) harus mempertanggungjawabkan tindakan kepada DPR
  3. Program kebijaksanaan kabinet harus disesuaikan dengan tujuan politik sebagian anggota parlemen

Politik Luar Negeri Masa Orde Baru

Menyebut Gerakan Tiga Puluh September (G-30-S), tanpa menyertakan nama Partai Komunis Indonesia (PKI), rupanya selalu membuat gatal telinga sastrawan Taufik Ismail. Atas desakkannya (dan tentunya segolongan orang semacam beliau), Departemen Pendidikan Nasional membatalkan kurikulum pengajaran sejarah tahun 2004 dan menarik buku-buku pelajaran sejarah. Taufik Ismail dikabarkan juga, telah menerbitkan sebuah buku yang isinya diperkirakan membeberkan “dosa-dosa” komunisme. Belakangan, Nurmahmudi Ismail, walikota Depok, ikut serta dalam gerakan ini. Ia memelopori pembakaran buku-buku sejarah tersebut di wilayahnya. Langkah-langkah politik yang dilakukan Taufik Ismail, Nurmahmudi Ismail, Bambang Soedibyo dan ratusan nama birokrat Kejaksaan Agung dan Pemerintah Daerah yang melakukan tindakan yang sama, menunjukkan sebuah reaksi balik atas upaya pelurusan sejarah yang dilakukan oleh beberapa orang di kalangan ahli sejarah. Bahkan, seorang pejabat Departemen Pendidikan Nasional, diperiksa dengan tuduhan kriminal karena “menggelapkan” kata PKI dari buku sejarah.

Rangkaian peristiwa tersebut menjadi penting untuk dibahas kembali pada bulan Oktober ini. Bukan hanya karena jumlah korban yang jatuh dalam pembantaian massal setelah 1 Oktober 1965. Ataupun membahas pelurusan sejarah dan topik seputar siapa yang salah dan benar dalam tanggal itu. Lebih dari itu, karena signifikansi dari reaksi yang muncul terhadap upaya pelurusan sejarah 1965. Mengapa begitu keras reaksi tersebut, di saat sudah berpuluh-puluh tahun “ancaman” komunisme tidak kunjung terbukti di berbagai belahan dunia? Mengapa sebuah versi sejarah yang relatif netral terhadap pihak-pihak yang berkonflik pada 1965, yang seharusnya menjadi versi ideal bagi sebuah negara yang menyatakan dirinya “netral terhadap kepentingan-kepentingan SARA,” malah diberangus?

Untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan tadi, ada baiknya bersama-sama kita mengulas beberapa fakta geopolitik yang terjadi setelah 1965, dalam konteks Perang Dingin maupun dalam konteks pertarungan antar kelas-kelas sosial dan antar kelompok-kelompok politik di Indonesia.

Related Posts