Aturan-aturan yang timbul dalam praktik penyelenggaraan Negara walaupun tidak secara tertulis dinamakan ….

Aturan-aturan yang timbul dalam praktik penyelenggaraan Negara walaupun tidak secara tertulis dinamakan ….
a. trakta
b. konstitusi
c. hukum dasar
d. yurisprudensi
e. konvensi

Penjelasan:

Aturan-aturan yang timbul dalam praktik penyelenggaraan Negara walaupun tidak secara tertulis dinamakan konvensi. Konvensi adalah aturan-aturan yang dijalankan dalam praktik tetapi tidak secara formal tertulis dalam konstitusi atau hukum dasar. Mereka berkembang seiring waktu berdasarkan kebiasaan, tradisi, dan norma yang diterima oleh masyarakat.

Contoh dari konvensi adalah adanya aturan-aturan mengenai peran dan tanggung jawab Kepala Negara, seperti raja atau presiden, meskipun tidak secara khusus tercantum dalam konstitusi. Konvensi ini dapat berubah atau berkembang seiring dengan perubahan dalam masyarakat dan praktik politik.

Dalam konteks pertanyaan ini, pilihan yang paling sesuai adalah konvensi, karena konvensi adalah aturan-aturan yang timbul dalam praktik penyelenggaraan Negara tanpa harus secara tertulis diatur dalam konstitusi atau hukum dasar.

Jawaban e.

Penyelenggaraan negara mencakup berbagai aspek dalam menjalankan pemerintahan dan tugas-tugas administratif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di Indonesia, praktik penyelenggaraan negara melibatkan beberapa lembaga dan proses, yang meliputi hal-hal berikut:

1. Lembaga Eksekutif: Lembaga eksekutif di Indonesia dipimpin oleh Presiden. Presiden adalah kepala negara dan pemerintahan. Presiden dipilih melalui pemilihan umum dan memiliki wewenang untuk membentuk kabinet, mengawasi pelaksanaan undang-undang, dan mengambil keputusan terkait kebijakan negara.

2. Lembaga Legislatif: Lembaga legislatif di Indonesia adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR merupakan lembaga yang mewakili suara rakyat dalam pembuatan undang-undang, pengawasan pemerintah, dan pengambilan keputusan terkait kebijakan negara. Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum.

3. Lembaga Yudikatif: Lembaga yudikatif di Indonesia bertugas menyelenggarakan keadilan dan menegakkan hukum. Lembaga yudikatif terdiri dari Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga pengadilan tertinggi, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. Lembaga yudikatif berperan dalam memutuskan perkara hukum, menafsirkan undang-undang, dan memastikan keadilan di negara.

4. Lembaga Peradilan Khusus: Selain lembaga yudikatif umum, Indonesia juga memiliki lembaga peradilan khusus, seperti Mahkamah Konstitusi (MK) yang bertugas memeriksa konstitusionalitas undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya, serta Badan Peradilan Administrasi Negara yang menangani sengketa administrasi negara.

5. Pemerintahan Daerah: Indonesia menerapkan sistem desentralisasi yang memberikan otonomi kepada pemerintahan daerah. Pemerintah daerah, yang terdiri dari provinsi, kabupaten, dan kota, memiliki wewenang dalam mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan di tingkat lokal. Mereka memiliki kewenangan dalam hal-hal seperti pelayanan publik, pembangunan daerah, dan pengelolaan keuangan.

6. Birokrasi: Birokrasi adalah sistem administrasi pemerintahan yang melibatkan berbagai lembaga dan pegawai negeri sipil (PNS). Birokrasi bertugas menjalankan kebijakan negara, memberikan pelayanan publik, mengawasi kegiatan pemerintah, dan melaksanakan tugas-tugas administratif lainnya.

7. Partisipasi Masyarakat: Praktik penyelenggaraan negara di Indonesia juga melibatkan partisipasi masyarakat. Masyarakat memiliki hak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan dan memberikan masukan terhadap kebijakan pemerintah. Partisipasi masyarakat dapat dilakukan melalui pemilihan umum, pengajuan usulan, konsultasi publik, dan mekanisme partisipasi lainnya.

Praktik penyelenggaraan negara di Indonesia terus berkembang dan mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat. Tujuan utamanya adalah memastikan pemerintahan yang efektif, adil, transparan, dan responsif terhadap kepentingan rakyat.

Apa itu Konvensi?

Konvensi merujuk pada kumpulan aturan yang diikuti oleh pihak-pihak terkait dalam suatu bidang tertentu. Konvensi tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara formal, tetapi memiliki otoritas atau kebiasaan yang diakui dan dihormati oleh pihak-pihak yang terlibat.

Konvensi sering kali berkembang sebagai hasil dari praktik yang berulang kali diadopsi oleh negara-negara atau entitas lain dalam hubungan internasional. Meskipun tidak mengikat secara hukum, konvensi dapat memainkan peran penting dalam membentuk norma-norma dan standar perilaku di antara negara-negara.

Contoh konvensi yang terkenal adalah Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian 1969, yang menetapkan prinsip-prinsip umum dalam pembentukan, penafsiran, dan pelaksanaan perjanjian internasional. Konvensi ini dianggap sebagai landasan hukum utama dalam hukum perjanjian internasional.

Konvensi juga dapat ditemukan dalam bidang-bidang lain, seperti konvensi dalam hubungan diplomatik, konvensi perlindungan lingkungan, konvensi hak asasi manusia, dan lain sebagainya. Konvensi-konvensi semacam itu memberikan kerangka kerja dan pedoman bagi negara-negara untuk berinteraksi dan bekerja sama dalam bidang-bidang tersebut.

Pentingnya konvensi terletak pada fungsinya sebagai sarana untuk mengembangkan konsensus, mempromosikan kerjasama, dan memfasilitasi interaksi yang teratur antara negara-negara. Meskipun tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, melanggar konvensi yang diakui secara luas dapat berdampak negatif terhadap reputasi dan hubungan internasional suatu negara.

Apa contoh konvensi dalam hubungan diplomatik?

Contoh konvensi dalam hubungan diplomatik antara negara-negara adalah:

1. Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik (1961): Konvensi ini menetapkan kerangka kerja untuk hubungan diplomatik antara negara-negara. Konvensi ini mengatur berbagai aspek seperti hak dan kekebalan diplomat, pembentukan misi diplomatik, perlindungan diplomatik, dan pemutusan hubungan diplomatik.

2. Konvensi Wina tentang Konsuler (1963): Konvensi ini mengatur hubungan konsuler antara negara-negara. Konvensi ini mencakup aspek-aspek seperti pembentukan kantor konsuler, hak dan kekebalan pejabat konsuler, perlindungan warga negara di negara asing, serta tugas dan fungsi kantor konsuler.

3. Konvensi Wina tentang Perwakilan Diplomatik di Organisasi Internasional yang Universal (1975): Konvensi ini mengatur status, hak, dan kewajiban perwakilan diplomatik negara-negara dalam organisasi internasional yang bersifat universal, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Konvensi ini menegaskan kekebalan diplomatik dan hak-hak perwakilan diplomatik dalam konteks organisasi internasional.

4. Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler (1963): Konvensi ini mengatur hubungan konsuler antara negara-negara. Konvensi ini mencakup aspek-aspek seperti pembentukan kantor konsuler, hak dan kekebalan pejabat konsuler, perlindungan warga negara di negara asing, serta tugas dan fungsi kantor konsuler.

5. Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik dan Konsuler antara Negara dan Organisasi Internasional atau Lainnya (1986): Konvensi ini mengatur hubungan diplomatik dan konsuler antara negara dan organisasi internasional atau entitas lainnya. Konvensi ini mencakup aspek-aspek seperti pembentukan misi diplomatik dan kantor konsuler, hak dan kekebalan diplomat dan konsuler, serta perlindungan dan tugas diplomat dan konsuler dalam konteks perjanjian dengan organisasi internasional atau entitas lainnya.

Konvensi-konvensi ini membentuk kerangka kerja hukum yang mengatur hubungan diplomatik dan konsuler antara negara-negara. Mereka menetapkan prinsip-prinsip dasar, hak, dan kewajiban dalam interaksi diplomatik dan konsuler, serta memberikan perlindungan hukum bagi diplomat dan konsuler di negara asing.

Post terkait

Berdasarkan Konvensi Wina mengenai hukum Internasional, setelah perundingan selesai

Related Posts